Asal nama Benteng berasal dari benteng yang didirikan Belanda di Timur
kali Cisadane untuk mempertahankan diri dari serangan Banten yang ingin
merebut wilayah sebelah timur kali Cisadane, yang termasuk Tangerang
yang saat itu dikuasai VOC. Saat ini Banten sudah tidak ada lagi,
tinggalah pemukiman Tionghoa yang awalnya berdiri di Pasar lama yang
terkenal dengan Petak Sembilan yang ditandai dengan Kelenteng Boen Tek
Bio. Orang-orang yang tinggal di dekat benteng itulah yang kemudian
menamakan diirnya Cina Benteng. Setelah itu warga keturunan Thionghoa
tersebar di pedesaan yang terletak diwilayah Tangerang dan Batavia.
Setelah memperoleh izin dari VOC, orang-orang dari tiongkok datang ke
wilayah sebelah timur kali Cisadane untuk membuka hutan belantara untuk
mendirikan perkebunan tebu dan mendirikan pabrik gula, hal ini terjadi
setelah 1682 (tahun perjanjian antara VOC dan Banten). Namun pada masa
itu industri gula menurun pada 1730an, sehingga menyebakan pengangguran
dan menyebakan tragedi pembantaian pada 1740. Setelah itu warga beralih
menjadi petani padi hingga sekarang.
Minggu pagi, 25 April 2010, sejak pagi Vihara telah ramai dikunjungi
anak-anak. Mereka berkumpul untuk belajar bersama dan bermain, kegiatan
mereka beragam dari latihan tata cara ibadah, menyanyi bersama atau
sekedar bercengkerama dengan sesama teman. Hari minggu menjadi saat yang
hidup bagi vihara tersebut. Anak-anak menghabiskan waktu mereka disana,
dengan bercanda dan bermain bersama, keceriaan mereka tak terganggu
meskipun penggususran tengah menghantui kehidupan mereka.
Siang
mulai beranjak ketika tiba saatnya untuk berkunjung ke pemukiman warga,
kali ini tempat pertama yang saya datangi adalah wilayah Tangga Asem.
Pemukiman warga yang diapit sunga Cisadane serta kuburan Cina ini, bisa
dibilang perkampungan yang tak juga menguntungkan buat warga. Akses
jalan menuju daerah teersebut adalah jalan tanah dan berdebu. Sepanjang
perjalanan saya berpapasan dengan truk pembawa sampah yang meninggalkan
aroma busuk luar biasa.
Bertemu dengan ibu Ani, perempuan tua berumur 65 tahun ini hanya
termangu ditepi jalan bersama cucunya. Teror penggusuran itu telah
mengubah kehidupannya menjadi was-was tiap saat. “ Saya tinggal disini
sudah puluhan tahun, dan baru kali ini saja akan digusur. Mau kemana
kalau rumah digusur..paling-paling pindah ke depan…” Telunjuknya
mengarah pada kuburan cina di seberang jalan. Kuburan Cina itu berdiri
amat megah diantara deretan rumah berdinding bambu dan beratap daun
kelapa. Rata-rata rumah warga di Tangga asem masih seperti itu, berderet
amat rapat sehingga tak jelas batas antar keluarga.
Siang itu beberapa warga berkumpul dan membahas persoalan penggusuran
yang mereka alami. rata-rata kaum ibu berkumpul bersama anak-anaknya.
Dari pembicaraan mereka, tersirat bahwa kekecewaan mereka terhadap
walikota Tangerang mengemuka. Bahkan janji kampanye walikota beberapa
waktu lalu menjadi angin surga saja bagi mereka. “Saya disuruh milih
Wahidin saja waktu pilihan, katanya orangnya baik, suka menolong dan tak
akan menggusur warga. Tapi apa buktinya….sekarang kita suruh pindah
tanpa diberi tahu kemana…”.
Obrolan
ibu-ibu itu memberi sebuah sinyal bahwa janji walikota tersebut hanya
mimpi. Disaat kampanye mereka dibutuhkn suaranya, tetapi saat ini mereka
justru tengah berada di ujung tanduk. “Jangankan untuk pindah, untuk
makan saja sulit…kalau pindah kemana?”.
Sore mulai merambat ketika saya bertemu dengan Ivana, arsitek lulusan
Universitas Indonesia itu datang atas undangan Lembaga Bantuan Hukum
Jakarta (LBH), membawa peta wilayah sepanjang bantaran sunga Cisadane.
“Peta ini akan membantu kita untuk melihat wilayah kita tinggal,
termasuk peninggalan bersejarah, aktivitas warga, kebudayaan dan tradisi
yang ada. Peta ini akan membantu warga memetakan sendiri wilayahnya
sebelum digusur”. Ujarnya. Hal ini menerik sekali menurut saya,
bagaimana warga diajak untuk mengenali potensi wilayah mereka, dan
memetakan kedaan daerahnya sendiri. Bahkan gambaran bagaimana mengatur
wilayah mereka apabila tidak terjadi penggusuran kelak. Malam ini rapat
digelar bersama warga untuk mempersiapkan penghadangan satpol PP pada
penggusuran esok.
Senin, 26 April 2010 sejak pagi warga sudah berkumpul di Vihara Maha
Bodhi, mereka sudah mempersiapkan diri untuk menunggu perintah dari
koordinator warga seandainya penggusuran terjadi hari ini. Pagi ini saya
bersama beberapa teman menelusuri sepanjang bantaran suanga Cisadane,
salah satu tempat yang ingin saya kunjungi adalah rumah paling tua
disana. Menurut warga tempat itu adalah bangunan paling tua dikampung
itu.
Menelusuri
pinggiran kali, menemukan gundukan sampah diantara rumah warga menjadi
hal yang sangat biasa. Rumah beratap dedaunan semarak berdiri
disepanjang sungai, saya berhenti di pinggir sungai ketike menemukan
pintu air sepuluh. Pintu air yang berfungsi sebagai penahan air dan
irigasi dibangun pada tahun 1825-1830. Pintu air di berdiri kokoh dan
kuat membentang disepanjang sungai, sejarah telah memberi bukti bahwa
kala itu perekonomian terbangun disana dengan kuatnya. Bahkan kehidupan
masyarakat dari pertanian menjadi raja pada masanya.
Setelah berkeliling kampung saya akhirnya menemukan sebuah bangunan
kuno, kusam dan tak terawat, Inilah rumah tua yang saya cari. rumah itu
berdiri tak lebih dari 100 meter dari sungai Cisadane. Di sana saya
bertemu seorang perempuan tua berumur 85 tahun. Ong Yong Yong, demikian
ia memperkenalkan dirinya. “Saya tinggal disini sejak umur 12 tahun,
saat semua orang berlari menyelamatkan diri dari kejaran Belanda”.
Ucapnya sambil menatap lurus kearah saya. Bisa dikatakan rumah ini
seperti bangunan kotak, dindingnya kusam dan ditumbuhi lumut, dua pintu
yang menjadi fentilasi bangunan kuno itu saling membelakangi.
Pilar-pilar besar berdiri kokoh menopang bangunan ini. Tak ada perabotan
didalam rumah itu, hanya sebuah dipan, meja untuk menaruh hio atau
sesembahan. Dapur yang tak bersekat dan sebuah kamar mandi kuno. “ Rumah
ini dulu milik tuan tanah, orang kaya pemilik perkebunan disekitar
sini. Saya bersama orang banyak dulu mengungsi disini”. Rumah ini sejak
73 tahun lalu dihuni oleh Ong Yong Yong bersama puluhan pengungsi,
menurutnya pada saat ini bangunan rumah tersebut sudah kusam dan tak
terawat. Lambat laun sesama pengungsi yang tinggal disana kemudian
berpencar, membangun rumah sendiri-sendiri, lalu tinggalah ia bersama
keluarganya.
Rumah ini mungkin sudah ratusan tahun usianya, karena seingat Ong
Yong Yong kondisi rumah itu sudah begini sejak kedatangannya. Dan
genting rumahnya pun belum pernah diganti selama ini. “Kalau bocor iya
sering, tapi kalau diganti belum pernah” ujarnya. Perempuan tua itu
hanya berharap penggusuran tak terjadi, karena baginya ditempat inilah
orangtuanya dulu meninggal dan kini ia tetap tinggal ditempat ini.
Perjalanan
saya siang ini dilengkapi dengan mampir kerumah penduduk pembuat
kue-kue tradisional, beraneka rupa kue tradisonal dibuat oleh warga.
Namun karena mereka was-was adanya penggusuran hari itu saya hanya
bertemu dengan seorang ibu yang tetap membuat kue tradisonal. Anak-anak
sekarang mengatakan kuenya bernama Love, karena memang bentuknya love
atau daun. resep kue ini diperoleh dari mertuanya dan konon sudah turun
temurun dari nenek moyangnya. Dalam sehari keluarga ini menghabiskan
tepung sebanyak 4 kilogram untuk membuat kue. “Kue ini tanpa pengawet
dan pemanis buatan, saya tak berani pakai macam-macam karena anak saya
juga senang kuenya”. Kalau pagi saya membuat koe love ini, sedang sore
membuat cucur, gimana kalau digusur rumah tak ada penghasilan hanya dari
jualan kue ini”. ujar perempuan yang juga menanggung hidup ibu, suami
dan anaknya dari jualan kue tersebut.
Bantaran sungai/kali Cisadane yang airnya berwarna hitam tak
mengahalangi anak-anak mandi dan bermain sore itu. Anak-anak menikmati
kehidupan dengan caranya sendiri yaitu berenang mencari ikan dan bermain
air. Keceriaan terlintas dari tawa mereka seolah mereka tidak menangkap
getar kkawatir dari benak orang tuanya bila esok mereka tak lagi bisa
bermain disana.
MEREKA TETAP MELAWAN
Selasa
27 April 2010, sejak pagi saya dan teman-teman sudah siap-siap untuk
menunggu kedatangan satpol PP kali ini. Hari ini adalah batas akhir dari
14 hari sesudah penggususran pertama tanggal 13 April lalu digagalkan
warga. Hal ini berdasarkan surat resmi yang dikirimkan camat Neglasari
kepada warga agar mengosongkan rumah tinggalnya selama kurun waktu 14
hari setelah penggusuran awal. Namun warga bersikukuh untuk tidak akan
meninggalkan rumahnya. Maka pagi itu tiga titik rawan di desa dijaga
oleh massa, yaitu Tangga Asem pusat masuk wilayah penggusuran. Kemudian
Kokun, atau buburan Cina, dimana daerah itu sempat dimasuki Satpol PP
dan Bego untuk menggususr kandang ternak dan pabrik, sementara tempat
lain adalah Tempat Pembuangan Sampah (TPS) Rawa Kucing.
Siang begitu panas hari ini, khususnya untuk di Tangga Asem beberapa
kali mobil patroli polisi lewat, bahkan beberapa saat kemudian puluhan
motor yang di naiki polisi melaju masuk kampung membelah kerumunan
warga. Ketegangan jelas tergambar, bahwa hari ini pasti ada eksekusi.
Namun hingga siang hari, saat warga khususnya perempuan menggelar aksi
di Tangga Asem, satpol PP tak menampakkan diri. Namun semangat kaum
perempuan itu tidak luntur meskipun tak ada satpol PP, mereka tetap
berkumpul dan menyanyikan lagu-lagu perlawanan.
Sejarah
perlawanan warga Cina Benteng menjadi awal perjuangan bagi kelompok
silent majority. Selama ini mereka tak pernah bersuara atas
diskriminasi yang mereka alami, atas akses pendidikan dan kehidupan
layak yang mereka harapkan. Mereka selama bertahun-tahun hidup di
pingiran kali, hidup diantara aroma sampah dan himpitan ekonomi. Mereka
kaum yang dilemahkan oleh sistem, di pinggirkan oleh kepentingan bangsa
ini. Apalagi oleh walikota Tangerang, mereka akan di gusur atas nama
penghijaun. Atas nama penertiban mereka akan di usir dari tanah yang
sudah membesarkan mereka dari kebudayaan yang mereka bangun bersama
nenek moyangnya.
Mereka bukan hanya masyarakat keturunan Cina, tetapi mereka adalah
kehidupan bernama manusia, mereka adalah kebudayaan yang hidup. Tradisi
yang memperkaya kebangsaan kita yang mewarnai bangsa Indonesia. Bahkan
mereka adalah awal mula keberadaan kota Tangerang, sejarahnya sendiri
berawal dari pinggiran Cina Benteng.
Perlawanan yang dilakukan warga Cina Benteng membuktikan bahwa mereka
saat ini sadar tentang haknya sebagai warga negara untuk mempertahankan
haknya. Mereka bersuara, menuntut keadilan atas penggusuran yang mereka
alami. Walikota yang bertindak semena-mena untuk mengusir warga
bukanlah alasan yang tepat untuk mengatasi persoalan warga. Termasuk
kemiskinan yang mereka alami, bisa dibayangkan jika mereka terusir dari
kampungnya 300 kepala keluarga itu akan tinggal dimana? bagaimana nasib
anak-anaknya, pendidikan mereka, masa depan mereka? Alasan yang tidak
masuk akal dari walikota Tangerang untuk menggusur mereka adalah
pelanggaran dari UUD 45 pasal 28a Setiap orang berhak untuk hidup serta
berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya. Selain itu pelanggaran Hak
asasi manusia, bukankah amandemen UUD 45 telah menjaminnya?
Setiap
warga memiliki hak untuk penghidupan yang layak, meskipun tanah air
dikuasai negara, namun selayaknya itu untuk kemakmuran rakyatnya, bukan
untuk diambil alih secara sepihak. Melawan dan melawan adalah cara yang
akan ditempuh oleh warga demi mempertahankan haknya sebagai warga negara
ini, apapun etnisnya.
Penggusuran itu tinggal menungu waktu, karena pemda Tangerang masih
bersikukuh untuk membersihkan wilayah Cina Benteng dari pemukiman. pemda
tak hanya menggeser warga, tetapi telah menghancurkan kebudayaan, etnis
dan tradisi turun temurun yang tetap dilestarikan warga Cina Benteng
hingga kini. (Bersambung).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar