<script type="text/javascript">
var adfly_id = 2702610;
var adfly_advert = 'int';
var frequency_cap = 5;
var frequency_delay = 5;
var init_delay = 3;
</script>
<script src="http://cdn.adf.ly/js/entry.js" type="text/javascript"></script>
SERBA SERBI BENTENG
Kamis, 01 November 2012
Rabu, 31 Oktober 2012
CINA BENTENG SIMBOL PERLAWANAN
Asal nama Benteng berasal dari benteng yang didirikan Belanda di Timur
kali Cisadane untuk mempertahankan diri dari serangan Banten yang ingin
merebut wilayah sebelah timur kali Cisadane, yang termasuk Tangerang
yang saat itu dikuasai VOC. Saat ini Banten sudah tidak ada lagi,
tinggalah pemukiman Tionghoa yang awalnya berdiri di Pasar lama yang
terkenal dengan Petak Sembilan yang ditandai dengan Kelenteng Boen Tek
Bio. Orang-orang yang tinggal di dekat benteng itulah yang kemudian
menamakan diirnya Cina Benteng. Setelah itu warga keturunan Thionghoa
tersebar di pedesaan yang terletak diwilayah Tangerang dan Batavia.
Setelah memperoleh izin dari VOC, orang-orang dari tiongkok datang ke
wilayah sebelah timur kali Cisadane untuk membuka hutan belantara untuk
mendirikan perkebunan tebu dan mendirikan pabrik gula, hal ini terjadi
setelah 1682 (tahun perjanjian antara VOC dan Banten). Namun pada masa
itu industri gula menurun pada 1730an, sehingga menyebakan pengangguran
dan menyebakan tragedi pembantaian pada 1740. Setelah itu warga beralih
menjadi petani padi hingga sekarang.
Minggu pagi, 25 April 2010, sejak pagi Vihara telah ramai dikunjungi anak-anak. Mereka berkumpul untuk belajar bersama dan bermain, kegiatan mereka beragam dari latihan tata cara ibadah, menyanyi bersama atau sekedar bercengkerama dengan sesama teman. Hari minggu menjadi saat yang hidup bagi vihara tersebut. Anak-anak menghabiskan waktu mereka disana, dengan bercanda dan bermain bersama, keceriaan mereka tak terganggu meskipun penggususran tengah menghantui kehidupan mereka.
Siang mulai beranjak ketika tiba saatnya untuk berkunjung ke pemukiman warga, kali ini tempat pertama yang saya datangi adalah wilayah Tangga Asem. Pemukiman warga yang diapit sunga Cisadane serta kuburan Cina ini, bisa dibilang perkampungan yang tak juga menguntungkan buat warga. Akses jalan menuju daerah teersebut adalah jalan tanah dan berdebu. Sepanjang perjalanan saya berpapasan dengan truk pembawa sampah yang meninggalkan aroma busuk luar biasa.
Bertemu dengan ibu Ani, perempuan tua berumur 65 tahun ini hanya termangu ditepi jalan bersama cucunya. Teror penggusuran itu telah mengubah kehidupannya menjadi was-was tiap saat. “ Saya tinggal disini sudah puluhan tahun, dan baru kali ini saja akan digusur. Mau kemana kalau rumah digusur..paling-paling pindah ke depan…” Telunjuknya mengarah pada kuburan cina di seberang jalan. Kuburan Cina itu berdiri amat megah diantara deretan rumah berdinding bambu dan beratap daun kelapa. Rata-rata rumah warga di Tangga asem masih seperti itu, berderet amat rapat sehingga tak jelas batas antar keluarga.
Siang itu beberapa warga berkumpul dan membahas persoalan penggusuran yang mereka alami. rata-rata kaum ibu berkumpul bersama anak-anaknya. Dari pembicaraan mereka, tersirat bahwa kekecewaan mereka terhadap walikota Tangerang mengemuka. Bahkan janji kampanye walikota beberapa waktu lalu menjadi angin surga saja bagi mereka. “Saya disuruh milih Wahidin saja waktu pilihan, katanya orangnya baik, suka menolong dan tak akan menggusur warga. Tapi apa buktinya….sekarang kita suruh pindah tanpa diberi tahu kemana…”.
Obrolan ibu-ibu itu memberi sebuah sinyal bahwa janji walikota tersebut hanya mimpi. Disaat kampanye mereka dibutuhkn suaranya, tetapi saat ini mereka justru tengah berada di ujung tanduk. “Jangankan untuk pindah, untuk makan saja sulit…kalau pindah kemana?”.
Sore mulai merambat ketika saya bertemu dengan Ivana, arsitek lulusan Universitas Indonesia itu datang atas undangan Lembaga Bantuan Hukum Jakarta (LBH), membawa peta wilayah sepanjang bantaran sunga Cisadane. “Peta ini akan membantu kita untuk melihat wilayah kita tinggal, termasuk peninggalan bersejarah, aktivitas warga, kebudayaan dan tradisi yang ada. Peta ini akan membantu warga memetakan sendiri wilayahnya sebelum digusur”. Ujarnya. Hal ini menerik sekali menurut saya, bagaimana warga diajak untuk mengenali potensi wilayah mereka, dan memetakan kedaan daerahnya sendiri. Bahkan gambaran bagaimana mengatur wilayah mereka apabila tidak terjadi penggusuran kelak. Malam ini rapat digelar bersama warga untuk mempersiapkan penghadangan satpol PP pada penggusuran esok.
Senin, 26 April 2010 sejak pagi warga sudah berkumpul di Vihara Maha Bodhi, mereka sudah mempersiapkan diri untuk menunggu perintah dari koordinator warga seandainya penggusuran terjadi hari ini. Pagi ini saya bersama beberapa teman menelusuri sepanjang bantaran suanga Cisadane, salah satu tempat yang ingin saya kunjungi adalah rumah paling tua disana. Menurut warga tempat itu adalah bangunan paling tua dikampung itu.
Menelusuri pinggiran kali, menemukan gundukan sampah diantara rumah warga menjadi hal yang sangat biasa. Rumah beratap dedaunan semarak berdiri disepanjang sungai, saya berhenti di pinggir sungai ketike menemukan pintu air sepuluh. Pintu air yang berfungsi sebagai penahan air dan irigasi dibangun pada tahun 1825-1830. Pintu air di berdiri kokoh dan kuat membentang disepanjang sungai, sejarah telah memberi bukti bahwa kala itu perekonomian terbangun disana dengan kuatnya. Bahkan kehidupan masyarakat dari pertanian menjadi raja pada masanya.
Setelah berkeliling kampung saya akhirnya menemukan sebuah bangunan kuno, kusam dan tak terawat, Inilah rumah tua yang saya cari. rumah itu berdiri tak lebih dari 100 meter dari sungai Cisadane. Di sana saya bertemu seorang perempuan tua berumur 85 tahun. Ong Yong Yong, demikian ia memperkenalkan dirinya. “Saya tinggal disini sejak umur 12 tahun, saat semua orang berlari menyelamatkan diri dari kejaran Belanda”. Ucapnya sambil menatap lurus kearah saya. Bisa dikatakan rumah ini seperti bangunan kotak, dindingnya kusam dan ditumbuhi lumut, dua pintu yang menjadi fentilasi bangunan kuno itu saling membelakangi. Pilar-pilar besar berdiri kokoh menopang bangunan ini. Tak ada perabotan didalam rumah itu, hanya sebuah dipan, meja untuk menaruh hio atau sesembahan. Dapur yang tak bersekat dan sebuah kamar mandi kuno. “ Rumah ini dulu milik tuan tanah, orang kaya pemilik perkebunan disekitar sini. Saya bersama orang banyak dulu mengungsi disini”. Rumah ini sejak 73 tahun lalu dihuni oleh Ong Yong Yong bersama puluhan pengungsi, menurutnya pada saat ini bangunan rumah tersebut sudah kusam dan tak terawat. Lambat laun sesama pengungsi yang tinggal disana kemudian berpencar, membangun rumah sendiri-sendiri, lalu tinggalah ia bersama keluarganya.
Rumah ini mungkin sudah ratusan tahun usianya, karena seingat Ong Yong Yong kondisi rumah itu sudah begini sejak kedatangannya. Dan genting rumahnya pun belum pernah diganti selama ini. “Kalau bocor iya sering, tapi kalau diganti belum pernah” ujarnya. Perempuan tua itu hanya berharap penggusuran tak terjadi, karena baginya ditempat inilah orangtuanya dulu meninggal dan kini ia tetap tinggal ditempat ini.
Perjalanan saya siang ini dilengkapi dengan mampir kerumah penduduk pembuat kue-kue tradisional, beraneka rupa kue tradisonal dibuat oleh warga. Namun karena mereka was-was adanya penggusuran hari itu saya hanya bertemu dengan seorang ibu yang tetap membuat kue tradisonal. Anak-anak sekarang mengatakan kuenya bernama Love, karena memang bentuknya love atau daun. resep kue ini diperoleh dari mertuanya dan konon sudah turun temurun dari nenek moyangnya. Dalam sehari keluarga ini menghabiskan tepung sebanyak 4 kilogram untuk membuat kue. “Kue ini tanpa pengawet dan pemanis buatan, saya tak berani pakai macam-macam karena anak saya juga senang kuenya”. Kalau pagi saya membuat koe love ini, sedang sore membuat cucur, gimana kalau digusur rumah tak ada penghasilan hanya dari jualan kue ini”. ujar perempuan yang juga menanggung hidup ibu, suami dan anaknya dari jualan kue tersebut.
Bantaran sungai/kali Cisadane yang airnya berwarna hitam tak mengahalangi anak-anak mandi dan bermain sore itu. Anak-anak menikmati kehidupan dengan caranya sendiri yaitu berenang mencari ikan dan bermain air. Keceriaan terlintas dari tawa mereka seolah mereka tidak menangkap getar kkawatir dari benak orang tuanya bila esok mereka tak lagi bisa bermain disana.
MEREKA TETAP MELAWAN
Selasa 27 April 2010, sejak pagi saya dan teman-teman sudah siap-siap untuk menunggu kedatangan satpol PP kali ini. Hari ini adalah batas akhir dari 14 hari sesudah penggususran pertama tanggal 13 April lalu digagalkan warga. Hal ini berdasarkan surat resmi yang dikirimkan camat Neglasari kepada warga agar mengosongkan rumah tinggalnya selama kurun waktu 14 hari setelah penggusuran awal. Namun warga bersikukuh untuk tidak akan meninggalkan rumahnya. Maka pagi itu tiga titik rawan di desa dijaga oleh massa, yaitu Tangga Asem pusat masuk wilayah penggusuran. Kemudian Kokun, atau buburan Cina, dimana daerah itu sempat dimasuki Satpol PP dan Bego untuk menggususr kandang ternak dan pabrik, sementara tempat lain adalah Tempat Pembuangan Sampah (TPS) Rawa Kucing.
Siang begitu panas hari ini, khususnya untuk di Tangga Asem beberapa kali mobil patroli polisi lewat, bahkan beberapa saat kemudian puluhan motor yang di naiki polisi melaju masuk kampung membelah kerumunan warga. Ketegangan jelas tergambar, bahwa hari ini pasti ada eksekusi. Namun hingga siang hari, saat warga khususnya perempuan menggelar aksi di Tangga Asem, satpol PP tak menampakkan diri. Namun semangat kaum perempuan itu tidak luntur meskipun tak ada satpol PP, mereka tetap berkumpul dan menyanyikan lagu-lagu perlawanan.
Sejarah perlawanan warga Cina Benteng menjadi awal perjuangan bagi kelompok silent majority. Selama ini mereka tak pernah bersuara atas diskriminasi yang mereka alami, atas akses pendidikan dan kehidupan layak yang mereka harapkan. Mereka selama bertahun-tahun hidup di pingiran kali, hidup diantara aroma sampah dan himpitan ekonomi. Mereka kaum yang dilemahkan oleh sistem, di pinggirkan oleh kepentingan bangsa ini. Apalagi oleh walikota Tangerang, mereka akan di gusur atas nama penghijaun. Atas nama penertiban mereka akan di usir dari tanah yang sudah membesarkan mereka dari kebudayaan yang mereka bangun bersama nenek moyangnya.
Mereka bukan hanya masyarakat keturunan Cina, tetapi mereka adalah kehidupan bernama manusia, mereka adalah kebudayaan yang hidup. Tradisi yang memperkaya kebangsaan kita yang mewarnai bangsa Indonesia. Bahkan mereka adalah awal mula keberadaan kota Tangerang, sejarahnya sendiri berawal dari pinggiran Cina Benteng.
Perlawanan yang dilakukan warga Cina Benteng membuktikan bahwa mereka saat ini sadar tentang haknya sebagai warga negara untuk mempertahankan haknya. Mereka bersuara, menuntut keadilan atas penggusuran yang mereka alami. Walikota yang bertindak semena-mena untuk mengusir warga bukanlah alasan yang tepat untuk mengatasi persoalan warga. Termasuk kemiskinan yang mereka alami, bisa dibayangkan jika mereka terusir dari kampungnya 300 kepala keluarga itu akan tinggal dimana? bagaimana nasib anak-anaknya, pendidikan mereka, masa depan mereka? Alasan yang tidak masuk akal dari walikota Tangerang untuk menggusur mereka adalah pelanggaran dari UUD 45 pasal 28a Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya. Selain itu pelanggaran Hak asasi manusia, bukankah amandemen UUD 45 telah menjaminnya?
Setiap warga memiliki hak untuk penghidupan yang layak, meskipun tanah air dikuasai negara, namun selayaknya itu untuk kemakmuran rakyatnya, bukan untuk diambil alih secara sepihak. Melawan dan melawan adalah cara yang akan ditempuh oleh warga demi mempertahankan haknya sebagai warga negara ini, apapun etnisnya.
Penggusuran itu tinggal menungu waktu, karena pemda Tangerang masih bersikukuh untuk membersihkan wilayah Cina Benteng dari pemukiman. pemda tak hanya menggeser warga, tetapi telah menghancurkan kebudayaan, etnis dan tradisi turun temurun yang tetap dilestarikan warga Cina Benteng hingga kini. (Bersambung).
Minggu pagi, 25 April 2010, sejak pagi Vihara telah ramai dikunjungi anak-anak. Mereka berkumpul untuk belajar bersama dan bermain, kegiatan mereka beragam dari latihan tata cara ibadah, menyanyi bersama atau sekedar bercengkerama dengan sesama teman. Hari minggu menjadi saat yang hidup bagi vihara tersebut. Anak-anak menghabiskan waktu mereka disana, dengan bercanda dan bermain bersama, keceriaan mereka tak terganggu meskipun penggususran tengah menghantui kehidupan mereka.
Siang mulai beranjak ketika tiba saatnya untuk berkunjung ke pemukiman warga, kali ini tempat pertama yang saya datangi adalah wilayah Tangga Asem. Pemukiman warga yang diapit sunga Cisadane serta kuburan Cina ini, bisa dibilang perkampungan yang tak juga menguntungkan buat warga. Akses jalan menuju daerah teersebut adalah jalan tanah dan berdebu. Sepanjang perjalanan saya berpapasan dengan truk pembawa sampah yang meninggalkan aroma busuk luar biasa.
Bertemu dengan ibu Ani, perempuan tua berumur 65 tahun ini hanya termangu ditepi jalan bersama cucunya. Teror penggusuran itu telah mengubah kehidupannya menjadi was-was tiap saat. “ Saya tinggal disini sudah puluhan tahun, dan baru kali ini saja akan digusur. Mau kemana kalau rumah digusur..paling-paling pindah ke depan…” Telunjuknya mengarah pada kuburan cina di seberang jalan. Kuburan Cina itu berdiri amat megah diantara deretan rumah berdinding bambu dan beratap daun kelapa. Rata-rata rumah warga di Tangga asem masih seperti itu, berderet amat rapat sehingga tak jelas batas antar keluarga.
Siang itu beberapa warga berkumpul dan membahas persoalan penggusuran yang mereka alami. rata-rata kaum ibu berkumpul bersama anak-anaknya. Dari pembicaraan mereka, tersirat bahwa kekecewaan mereka terhadap walikota Tangerang mengemuka. Bahkan janji kampanye walikota beberapa waktu lalu menjadi angin surga saja bagi mereka. “Saya disuruh milih Wahidin saja waktu pilihan, katanya orangnya baik, suka menolong dan tak akan menggusur warga. Tapi apa buktinya….sekarang kita suruh pindah tanpa diberi tahu kemana…”.
Obrolan ibu-ibu itu memberi sebuah sinyal bahwa janji walikota tersebut hanya mimpi. Disaat kampanye mereka dibutuhkn suaranya, tetapi saat ini mereka justru tengah berada di ujung tanduk. “Jangankan untuk pindah, untuk makan saja sulit…kalau pindah kemana?”.
Sore mulai merambat ketika saya bertemu dengan Ivana, arsitek lulusan Universitas Indonesia itu datang atas undangan Lembaga Bantuan Hukum Jakarta (LBH), membawa peta wilayah sepanjang bantaran sunga Cisadane. “Peta ini akan membantu kita untuk melihat wilayah kita tinggal, termasuk peninggalan bersejarah, aktivitas warga, kebudayaan dan tradisi yang ada. Peta ini akan membantu warga memetakan sendiri wilayahnya sebelum digusur”. Ujarnya. Hal ini menerik sekali menurut saya, bagaimana warga diajak untuk mengenali potensi wilayah mereka, dan memetakan kedaan daerahnya sendiri. Bahkan gambaran bagaimana mengatur wilayah mereka apabila tidak terjadi penggusuran kelak. Malam ini rapat digelar bersama warga untuk mempersiapkan penghadangan satpol PP pada penggusuran esok.
Senin, 26 April 2010 sejak pagi warga sudah berkumpul di Vihara Maha Bodhi, mereka sudah mempersiapkan diri untuk menunggu perintah dari koordinator warga seandainya penggusuran terjadi hari ini. Pagi ini saya bersama beberapa teman menelusuri sepanjang bantaran suanga Cisadane, salah satu tempat yang ingin saya kunjungi adalah rumah paling tua disana. Menurut warga tempat itu adalah bangunan paling tua dikampung itu.
Menelusuri pinggiran kali, menemukan gundukan sampah diantara rumah warga menjadi hal yang sangat biasa. Rumah beratap dedaunan semarak berdiri disepanjang sungai, saya berhenti di pinggir sungai ketike menemukan pintu air sepuluh. Pintu air yang berfungsi sebagai penahan air dan irigasi dibangun pada tahun 1825-1830. Pintu air di berdiri kokoh dan kuat membentang disepanjang sungai, sejarah telah memberi bukti bahwa kala itu perekonomian terbangun disana dengan kuatnya. Bahkan kehidupan masyarakat dari pertanian menjadi raja pada masanya.
Setelah berkeliling kampung saya akhirnya menemukan sebuah bangunan kuno, kusam dan tak terawat, Inilah rumah tua yang saya cari. rumah itu berdiri tak lebih dari 100 meter dari sungai Cisadane. Di sana saya bertemu seorang perempuan tua berumur 85 tahun. Ong Yong Yong, demikian ia memperkenalkan dirinya. “Saya tinggal disini sejak umur 12 tahun, saat semua orang berlari menyelamatkan diri dari kejaran Belanda”. Ucapnya sambil menatap lurus kearah saya. Bisa dikatakan rumah ini seperti bangunan kotak, dindingnya kusam dan ditumbuhi lumut, dua pintu yang menjadi fentilasi bangunan kuno itu saling membelakangi. Pilar-pilar besar berdiri kokoh menopang bangunan ini. Tak ada perabotan didalam rumah itu, hanya sebuah dipan, meja untuk menaruh hio atau sesembahan. Dapur yang tak bersekat dan sebuah kamar mandi kuno. “ Rumah ini dulu milik tuan tanah, orang kaya pemilik perkebunan disekitar sini. Saya bersama orang banyak dulu mengungsi disini”. Rumah ini sejak 73 tahun lalu dihuni oleh Ong Yong Yong bersama puluhan pengungsi, menurutnya pada saat ini bangunan rumah tersebut sudah kusam dan tak terawat. Lambat laun sesama pengungsi yang tinggal disana kemudian berpencar, membangun rumah sendiri-sendiri, lalu tinggalah ia bersama keluarganya.
Rumah ini mungkin sudah ratusan tahun usianya, karena seingat Ong Yong Yong kondisi rumah itu sudah begini sejak kedatangannya. Dan genting rumahnya pun belum pernah diganti selama ini. “Kalau bocor iya sering, tapi kalau diganti belum pernah” ujarnya. Perempuan tua itu hanya berharap penggusuran tak terjadi, karena baginya ditempat inilah orangtuanya dulu meninggal dan kini ia tetap tinggal ditempat ini.
Perjalanan saya siang ini dilengkapi dengan mampir kerumah penduduk pembuat kue-kue tradisional, beraneka rupa kue tradisonal dibuat oleh warga. Namun karena mereka was-was adanya penggusuran hari itu saya hanya bertemu dengan seorang ibu yang tetap membuat kue tradisonal. Anak-anak sekarang mengatakan kuenya bernama Love, karena memang bentuknya love atau daun. resep kue ini diperoleh dari mertuanya dan konon sudah turun temurun dari nenek moyangnya. Dalam sehari keluarga ini menghabiskan tepung sebanyak 4 kilogram untuk membuat kue. “Kue ini tanpa pengawet dan pemanis buatan, saya tak berani pakai macam-macam karena anak saya juga senang kuenya”. Kalau pagi saya membuat koe love ini, sedang sore membuat cucur, gimana kalau digusur rumah tak ada penghasilan hanya dari jualan kue ini”. ujar perempuan yang juga menanggung hidup ibu, suami dan anaknya dari jualan kue tersebut.
Bantaran sungai/kali Cisadane yang airnya berwarna hitam tak mengahalangi anak-anak mandi dan bermain sore itu. Anak-anak menikmati kehidupan dengan caranya sendiri yaitu berenang mencari ikan dan bermain air. Keceriaan terlintas dari tawa mereka seolah mereka tidak menangkap getar kkawatir dari benak orang tuanya bila esok mereka tak lagi bisa bermain disana.
MEREKA TETAP MELAWAN
Selasa 27 April 2010, sejak pagi saya dan teman-teman sudah siap-siap untuk menunggu kedatangan satpol PP kali ini. Hari ini adalah batas akhir dari 14 hari sesudah penggususran pertama tanggal 13 April lalu digagalkan warga. Hal ini berdasarkan surat resmi yang dikirimkan camat Neglasari kepada warga agar mengosongkan rumah tinggalnya selama kurun waktu 14 hari setelah penggusuran awal. Namun warga bersikukuh untuk tidak akan meninggalkan rumahnya. Maka pagi itu tiga titik rawan di desa dijaga oleh massa, yaitu Tangga Asem pusat masuk wilayah penggusuran. Kemudian Kokun, atau buburan Cina, dimana daerah itu sempat dimasuki Satpol PP dan Bego untuk menggususr kandang ternak dan pabrik, sementara tempat lain adalah Tempat Pembuangan Sampah (TPS) Rawa Kucing.
Siang begitu panas hari ini, khususnya untuk di Tangga Asem beberapa kali mobil patroli polisi lewat, bahkan beberapa saat kemudian puluhan motor yang di naiki polisi melaju masuk kampung membelah kerumunan warga. Ketegangan jelas tergambar, bahwa hari ini pasti ada eksekusi. Namun hingga siang hari, saat warga khususnya perempuan menggelar aksi di Tangga Asem, satpol PP tak menampakkan diri. Namun semangat kaum perempuan itu tidak luntur meskipun tak ada satpol PP, mereka tetap berkumpul dan menyanyikan lagu-lagu perlawanan.
Sejarah perlawanan warga Cina Benteng menjadi awal perjuangan bagi kelompok silent majority. Selama ini mereka tak pernah bersuara atas diskriminasi yang mereka alami, atas akses pendidikan dan kehidupan layak yang mereka harapkan. Mereka selama bertahun-tahun hidup di pingiran kali, hidup diantara aroma sampah dan himpitan ekonomi. Mereka kaum yang dilemahkan oleh sistem, di pinggirkan oleh kepentingan bangsa ini. Apalagi oleh walikota Tangerang, mereka akan di gusur atas nama penghijaun. Atas nama penertiban mereka akan di usir dari tanah yang sudah membesarkan mereka dari kebudayaan yang mereka bangun bersama nenek moyangnya.
Mereka bukan hanya masyarakat keturunan Cina, tetapi mereka adalah kehidupan bernama manusia, mereka adalah kebudayaan yang hidup. Tradisi yang memperkaya kebangsaan kita yang mewarnai bangsa Indonesia. Bahkan mereka adalah awal mula keberadaan kota Tangerang, sejarahnya sendiri berawal dari pinggiran Cina Benteng.
Perlawanan yang dilakukan warga Cina Benteng membuktikan bahwa mereka saat ini sadar tentang haknya sebagai warga negara untuk mempertahankan haknya. Mereka bersuara, menuntut keadilan atas penggusuran yang mereka alami. Walikota yang bertindak semena-mena untuk mengusir warga bukanlah alasan yang tepat untuk mengatasi persoalan warga. Termasuk kemiskinan yang mereka alami, bisa dibayangkan jika mereka terusir dari kampungnya 300 kepala keluarga itu akan tinggal dimana? bagaimana nasib anak-anaknya, pendidikan mereka, masa depan mereka? Alasan yang tidak masuk akal dari walikota Tangerang untuk menggusur mereka adalah pelanggaran dari UUD 45 pasal 28a Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya. Selain itu pelanggaran Hak asasi manusia, bukankah amandemen UUD 45 telah menjaminnya?
Setiap warga memiliki hak untuk penghidupan yang layak, meskipun tanah air dikuasai negara, namun selayaknya itu untuk kemakmuran rakyatnya, bukan untuk diambil alih secara sepihak. Melawan dan melawan adalah cara yang akan ditempuh oleh warga demi mempertahankan haknya sebagai warga negara ini, apapun etnisnya.
Penggusuran itu tinggal menungu waktu, karena pemda Tangerang masih bersikukuh untuk membersihkan wilayah Cina Benteng dari pemukiman. pemda tak hanya menggeser warga, tetapi telah menghancurkan kebudayaan, etnis dan tradisi turun temurun yang tetap dilestarikan warga Cina Benteng hingga kini. (Bersambung).
Selasa, 30 Oktober 2012
Chio Thau
Chio Thau dikenal sebagai acara
perkawinan traditional dari warga keturunan Tionghoa. Harian Kompas pada
tanggal 30 Mei 2010 dalam rubrik beberapa halaman tentang kebudayaan
komunitas Tionghoa “CHINA BENTENG” Tangerang menulis tentang Chio Thau yang nyaris punah.
Agama Buddha tidak mempunyai paham bahwa
menikah adalah suatu keharusan. Meskipun tidak juga menganjurkan umat
awam untuk selibat karena dalam Sigalovadda Sutta, Buddha pun memberikan
sebuah rumusan tentang 4 syarat sebuah perkawinan dikatakan sebagai
perkawinan Dewa-Dewi.
Ke empat syarat tersebut suami istri
hendaklah sebanding keyakinannya ( Samma Sadha), sebanding
kedermawanannya ( Samma Caga ), sebanding tata-susilanya ( Samma Sila)
dan sebanding kebijaksanannya ( Samma-Panna). Sebanding disini tentu
saja dalam pengertian dari sisi positip/ yang baik.
Kembali pada tradisi Chio Thau, Bapak Rudy Arijanto
yang sering berhubungan dekat dengan komunitas Buddhis Tangerang
mengulas tentang simbol-simbol dalam upacara perkawinan traditional Chio
Thau yang sarat dengan makna positif yang dapat diterapkan dalam
kehidupan berkeluarga.
Makna dari simbol-simbol tersebut pantas
menjadi bahan renungan bagi anda yang sudah berkeluarga maupun yang
merencanakan ingin berkeluarga.
Cina Benteng
Cina Benteng adalah panggilan yang mengacu kepada masyarakat keturunan Tionghoa-Manchu yang tinggal di daerah Tangerang, provinsi Banten.
Sejarah
Nama "China Benteng" berasal dari kata "Benteng", nama lama kota Tangerang. Saat itu terdapat sebuah benteng Belanda di kota Tangerang di pinggir sungai Cisadane, difungsikan sebagai post pengamanan mencegah serangan dari Kesultanan Banten, benteng ini merupakan Benteng terdepan pertahanan Belanda di pulau Jawa. Masyarakat Cina Benteng telah beberapa generasi tinggal di Tangerang yang kini telah berkembang menjadi tiga kota/kabupaten yaitu, Kota Tangerang, Kabupaten Tangerang dan Kota Tangerang Selatan.Menurut kitab sejarah Sunda yang berjudul Tina Layang Parahyang (Catatan dari Parahyangan), keberadaan komunitas China di Tangerang dan Batavia sudah ada setidak-tidaknya sejak 1407 NI. Kitab itu menceritakan tentang mendaratnya rombongan pertama dari dataran Cina yang dipimpin Tjen Tjie Lung alias Halung di muara Sungai Cisadane, yang sekarang berubah nama menjadi Teluk Naga.
Warga Cina Benteng sempat bersitegang dengan penduduk pribumi setelah Proklamasi Kemerdekaan. Pada 23 Juni 1946, rumah-rumah etnis Tionghoa di Tangerang diobrak-abrik. Penduduk yang didukung oleh kaum Republik menjarah rumah-rumah warga China Benteng. Bahkan meja abu, yang merupakan bagian dari ritual penghormatan leluhur tionghoa, ikut dicuri. Kemarahan penduduk pribumi dipicu seorang tentara NICA dari etnis Tionghoa menurunkan bendera Merah Putih dan menggantinya dengan bendera Belanda. Rosihan Anwar dalam harian Merdeka 13 Juni 1946 menulis pada saat itu hubungan warga China Benteng dan pribumi mengalami kemunduran paling ekstrem. Terlebih setelah Poh An Tuy, kelompok pemuda China Benteng pro-NICA, mengirim pasukan bersenjata dan mengungsikan masyarakat China Benteng yang selamat ke Batavia. Namun akhirnya kerusuhan pro-kemerdekaan itu berhasil diredam oleh koalisi antara tentara Poh An Thuy and tentara Kolonial Belanda.
Saat itu, semua etnis China Benteng nyaris terusir, dan ketika kembali, mereka tidak lagi mendapatkan tanah mereka dalam keadaan utuh. Tanah-tanah para tuan tanah diserobot pribumi. Atau, mereka mendapati rumah-rumah, yang mereka tinggalkan telah rata dengan tanah. Kini mereka kembali terancam kehilangan rumah mereka karena ambisi pemerintah kota. Kampung itu terletak di DAS Ciliwung, dan memang melanggar peraturan daerah. Namun, mereka telah ada di situ sebelum peraturan daerah itu dibuat.
Penggolongan
Orang China Benteng terbagi menjadi dua golongan berdasarkan keberangkatan mereka dari Tiongkok:Golongan pertama adalah mereka yang datang pada abad ke-15, mereka datang untuk menjadi petani, buruh, pekerja, dan pedagang, mereka mencapai Tangerang dengan menggunakan perahu sederhana, dan pada awalnya hidup pas-pasan dan bekerja sama dengan kolonial Belanda untuk mencapai standar hidup yang lebih baik. Dewasa ini kebanyakan orang Cina Benteng golongan pertama ini hidup pas-pas an dan sudah terasimilasi dengan budaya pribumi Sunda dan Betawi. Kebanyakan dari mereka tinggal di pedesaan.
Golongan kedua adalah orang Tionghoa yang datang pada abad ke-18 dan mendapat restu dan perbekalan dari Kaisar, dengan janji bahwa mereka akan tetap loyal terhadap China dan Kaisar Dinasti Qing. Mereka datang bersama-sama dengan kapal dagang Belanda, mereka datang dengan motivasi mendapat penghasilan yang lebih layak dengan menjadi buruh, pedagang, dan banyak juga yang menjadi tentara kolonial Belanda. Cina Benteng golongan kedua ini juga adalah proyek pemerintah kolonial Belanda yaitu "One harmony between 3 races, under one loyalty to the Dutch colonial Empire". Proyek pemerintah kolonial ini adalah menggabungkan tiga bangsa yaitu Tionghoa, Belanda dan Sunda-Betawi, menjadi satu etnis dengan komposisi 50% tionghoa, 37,5% Sunda-Betawi dan 12,5% Belanda dengan harapan "ras baru" ini hanya akan loyal terhadap pemerintah Belanda.China Benteng golongan kedua ini hampir semuanya hidup sejahtera dan mewah.
Pakaian adat
Pakaian adat suku Cina Benteng merupakan perpaduan antara pakaian adat suku besar Tionghoa (yang didominasi suku Hokian) dan pakaian adat suku Betawi. Pakaian adat prianya berupa baju koko hitam dan celana panjang, dengan topi yang khas yang mirip dengan caping. Sedangkan pakaian adat wanitanya dinamakan hwa kun, yang berupa blus dan bawahan lengkap dengan hiasan kepala serta tirai penutup wajah. Namun seringkali digunakan pula kebaya encim, dengan aksen kembang goyang sebagai hiasan kepala, yang menunjukkan pengaruh Betawi dalam pakaian tersebut.Kontribusi dalam kelangsungan kolonialisme Belanda
Mereka berkontribusi besar terhadap kelangsungan kekuasaan kolinal Belanda di Tangerang, banyak dari mereka yang diangkat menjadi kapitein Tionghoa pada era feodalisme tuan tanah di Tangerang, dan mereka sangat loyal terhadap Belanda. Pada saat Jepang menduduki Indonesia, mereka melawan Jepang dengan gagah berani walaupun akhirnya kalah. Tangerang merupakan daerah terakhir yang dikuasai Belanda di pulau Jawa, daerah ini baru diserahkan kepada Republik pada tahun 50-an. Pada tahun 1946 terjadi kerusuhan etnis di Tangerang, Pribumi menuduh China berpihak ke Belanda. Terlebih setelah Poh An Tuy, tentara China Benteng pro-NICA, mengirim tentara dan mengungsikan masyarakat China Benteng yang selamat ke Batavia. Etnis pribumi pendatang (kebanyakan Jawa dan Madura) beserta beberapa kelompok religius Sunda dan Betawi melakukan peyerangan terhadap orang China Benteng karena dianggap terlalu loyal terhadap NICA, akhirnya kerusuhan ini berhasil diredam oleh tentara gabungan NICA dan Poh An Tuy yang membela orang China Benteng. Orang-orang China Benteng merasa sangat kehilangan ketika Belanda meninggalkan Tangerang pada tahun 50-an dan menyerahkan kota itu kepada Republik, karena mereka kehilangan pelindung mereka, maka terjadilah penyerangan dan perampasan terhadap orang-orang China benteng, banyak di antara mereka yang dulunya kaya sekarang menjadi miskin karena harta leluhur mereka dirampas orang China benteng hidup lebih sejahtera selama pada zaman kolonial belanda daripada setelah Tangerang masuk ke-dalam Republik Indonesia. Di Belanda pun orang China Benteng mudah ditemui di antara komunitas tionghoa disana, karena kebanyakan orang tionghoa yg ada di Belanda adalah orang China Benteng yang melarikan diri setelah Tentara Poh An Tuy mengalami kekalahan melawan tentara republik.Masa kini
Orang China Benteng dikenal dengan warna kulitnya yang sedikit lebih gelap (walaupun tetap berkulit kuning) dibandingkan warga keturunan China lainnya di Indonesia, mereka lebih mirip dengan orang-orang Vietnam ketimbang orang Tiongkok. Kesenian mereka yang terkenal adalah kesenian campuran betawi-tionghoa, Cokek yaitu sebuah tarian berpasangan lelaki dan perempuan dengan iringan musik gambang kromong. Agama yang dianut beragam antara lain Konghucu, Buddhisme, Taoisme, Katholik, Protestan, Pemujaan Leluhur, Pemujaan Surga, dan ada sedikit yang beragama Islam.Hal menarik dari China Benteng adalah biarpun mereka sudah tidak berbahasa China lagi, mereka tetap melestarikan budaya leluhur dan tradisi Tiongkok, ini bisa dilihat dari tradisi pernikahan mereka yang menggunakan upacara pernikahan gaya Dinasti Manchu (Qing), mereka juga mengenakan pakaian gaya Dinasti Manchu seperti Manchu robe dan Manchu hat pada saat menikah. Orang China Benteng adalah satu-satu nya komunitas Tionghoa di Indonesia yang memiliki darah orang Manchu, karena hanya orang China Benteng yang masih tetap menggunakan upacara nikah gaya Dinasti Manchu setelah Dinasti Qing runtuh pada tahun 1912, di tiongkok sendiri, upacara nikah gaya Dinasti Qing itu sudah hampir hilang dan sangat jarang ditemukan [rujukan?].
Keturunan Dinasti Qing
Selain itu, banyak orang china benteng yang sebenarnya adalah keturunan dari keluarga kekaisaran Dinasti Qing (clan Manchu Aisin-Giorio atau Aixinjueluo dalam bahasa mandarin). Mereka adalah keturunan dari anak haram hasil hubungan gelap antara Kaisar Qianlong dengan seorang gadis cantik bermarga Wang di provinsi Fujian.Karena sang Kaisar tidak mau hubungan gelapnya diketahui publik, maka untuk menyembunyikan fakta tersebut, anak hasil hubungan haram tersebut dipaksa memakai nama marga ibunya, yaitu "Wang" dalam mandarin atau "Ong" dalam Hokkien. Mereka adalah orang-orang China Benteng yang bermarga "Ong" dalam dialek Hokkien atau "Wang" dalam dialek Mandarin. Namun tidak semua orang China Benteng bermarga Ong adalah keturunan Aixinjueluo. Mereka yang merupakan keturunan sang Kaisar Qianlong kini mengggunakan nama Indonesia Wangsa Mulya /Wangsa Mulia.
Nama Wangsa Mulia sendiri berasal dari bahasa sanskerta, Wangsa (dinasti), dan Mulia (murni) apabila diterjemahkan ke bahasa inggris menjadi "Pure Dynasty". Sedangkan kata "Qing" sendiri berarti "pure". Sehingga secara harafiah Wangsa Mulia berarti "Qing Dynasty". Kebanyakan orang dari keluarga Wangsa Mulya dan keluarga marga Ong lainnya tidak menyadari kalau mereka adalah keturunan kekaisaran, namun bagimanapun juga darah dan napas Kekaisaran Qing Raya tetap mengalir pada diri mereka. Mereka hidup modern namun memegang teguh sifat ultra-konservatif seperti feodalisme dan anti feminisme.
✔Dibaca Bagus Buat Intropeksi Diri
✔Dibaca Bagus Buat Intropeksi Diri
1• Anak terkadang berfikir orang tuanya pilih kasih terhadap saudaranya
2• Anak terkadang merasa terkekang oleh orang tuanya
3• Anak terkadang merasa lebih pintar dan membantah nasihat orang tuanya
4• Anak terkadang merasa bahwa dirinya tidak di sayang
5• Anak terkadang memperhitungkan segala sesuatu yang telah ia lakukan untuk orang tuanya
6• Anak terkad
ang m
1• Anak terkadang berfikir orang tuanya pilih kasih terhadap saudaranya
2• Anak terkadang merasa terkekang oleh orang tuanya
3• Anak terkadang merasa lebih pintar dan membantah nasihat orang tuanya
4• Anak terkadang merasa bahwa dirinya tidak di sayang
5• Anak terkadang memperhitungkan segala sesuatu yang telah ia lakukan untuk orang tuanya
6• Anak terkad
ang m
embingungkan harta warisan
7• Anak terkadang menganggap remeh sesuatu pekerjaan yang telah diberikan
8• Anak terkadang membentak orang tuanya saat berbicara
---» 8 Fakta ✔ yang tidak diketahui oleh anak:
✔1. Anak sering tidak mengerti jika dibalik sepengetahuannya orang tuanya selalu memuji anak di depan saudaranya
✔2. Anak sering tidak mengerti bahwa semua yang di lakukan orang tuanya hanya untuk kebaikan masa depan anak
✔3. Anak sering tidak mengerti bahwa orang tuanya telah menjalani kehidupan yang lebih keras dibanding anak
✔4. Anak sering tidak mengerti bahwa di setiap doa dan harapan orang tua nama anak selalu di ingat dan disebut
✔5. Orang tua jarang sekali memberitahukan mengenai pengorbanannya selama melahirkan anda
✔6. Orang tua telah mempersiapkan warisan terbaik (tidak selalu harta) untuk anaknya, hanya tinggal menunggu waktu yang tepat untuk menyerahkan
✔7. Orang tua tidak rela melihat anaknya hidup bersusah - susah di tempat orang lain.
✔8. Anak tidak mengerti setiap kali ia membentak, hati orang tua akan bergetar dan menyebabkan umurnya lebih pendek. . . Maka sayangilah Org Tua X an, Ǥōōδ мōřϞίπǥ. N Have A Great Day. . .
7• Anak terkadang menganggap remeh sesuatu pekerjaan yang telah diberikan
8• Anak terkadang membentak orang tuanya saat berbicara
---» 8 Fakta ✔ yang tidak diketahui oleh anak:
✔1. Anak sering tidak mengerti jika dibalik sepengetahuannya orang tuanya selalu memuji anak di depan saudaranya
✔2. Anak sering tidak mengerti bahwa semua yang di lakukan orang tuanya hanya untuk kebaikan masa depan anak
✔3. Anak sering tidak mengerti bahwa orang tuanya telah menjalani kehidupan yang lebih keras dibanding anak
✔4. Anak sering tidak mengerti bahwa di setiap doa dan harapan orang tua nama anak selalu di ingat dan disebut
✔5. Orang tua jarang sekali memberitahukan mengenai pengorbanannya selama melahirkan anda
✔6. Orang tua telah mempersiapkan warisan terbaik (tidak selalu harta) untuk anaknya, hanya tinggal menunggu waktu yang tepat untuk menyerahkan
✔7. Orang tua tidak rela melihat anaknya hidup bersusah - susah di tempat orang lain.
✔8. Anak tidak mengerti setiap kali ia membentak, hati orang tua akan bergetar dan menyebabkan umurnya lebih pendek. . . Maka sayangilah Org Tua X an, Ǥōōδ мōřϞίπǥ. N Have A Great Day. . .
Langganan:
Postingan (Atom)